LAPORAN PENDAHULUAN
TAKIKARDI SUPRAVENTRIKULAR
A. DEFINISI
a. Takikardi
supraventrikular (TSV) adalah satu jenis takidisritmia yang ditandai dengan
perubahan laju jantung yang mendadak bertambah cepat menjadi berkisar antara
150 kali/menit sampai 250 kali/menit. Kelainan pada TSV mencakup komponen
sistem konduksi dan terjadi di bagian atas bundel HIS. Pada kebanyakan TSV
mempunyai kompleks QRS normal. Kelainan ini sering terjadi pada demam, emosi,
aktivitas fisik dan gagal jantung (Aslinar, 2010).
b. Supraventrikular
takikardi (SVT) adalah detak jantung yang cepat dan reguler berkisar antara
150-250 denyut per menit. SVT sering juga disebut Paroxysmal Supraventrikular
Takikardi (PSVT). Paroksismal disini artinya adalah gangguan tiba-tiba dari
denyut jantung yang menjadi cepat.
B. ELEKTROFISIOLOGI
TAKIKARDI SUPRAVENTRIKULAR
Gangguan irama jantung secara elektrofisiologi disebabkan oleh gangguan
pembentukan rangsang, gangguan konduksi rangsang dan gangguan pembentukan serta
penghantaran rangsang.
1. Gangguan
pembentukan rangsang
Gangguan ini dapat terjadi secara pasif atau aktif. Bila gangguan
rangsang terbentuk secara aktif di luar urutan jaras hantaran normal,
seringkali menimbulkan gangguan irama ektopik dan bila terbentuk secara pasif
sering menimbulkan escape rhytm (irama pengganti).
a. Irama
ektopik timbul karena pembentukan rangsang ektopik secara aktif dan fenomena
reentry
b. Escape
beat (denyut pengganti) ditimbulkan bila rangsang normal tidak atau belum
sampai pada waktu tertentu dari irama normal, sehingga bagian jantung yang
belum atau tidak mendapat rangsang itu bekerja secara otomatis untuk
mengeluarkan rangsangan instrinsik yang memacu jantung berkontraksi.
c. Active
ectopic firing terjadi pada keadaan dimana terdapat kenaikan kecepatan automasi
pembentukan rangsang pada sebagian otot jantung yang melebihi keadaan normal.
d. Reentry
terjadi bila pada sebagian otot jantung terjadi blokade unidirectional (blokade
terhadap rangsang dalam arah antegrad) dimana rangsang dari arah lain masuk
kembali secara retrograd melalui bagian yang mengalami blokade tadi setelah
masa refrakternya dilampaui. Keadaan ini menimbulkan rangsang baru secara
ektopik. Bila reentry terjadi secara cepat dan berulang-ulang, atau tidak
teratur (pada beberapa tempat), maka dapat menimbulkan keadaan takikardi
ektopik atau fibrilasi.
2. Gangguan
konduksi
Kelainan irama jantung dapat disebabkan oleh hambatan pada hantaran
(konduksi) aliran rangsang yang disebut blokade. Hambatan tersebut
mengakibatkan tidak adanya aliran rangsang yang sampai ke bagian miokard yang
seharusnya menerima rangsang untuk dimulainya kontraksi. Blokade ini dapat
terjadi pada tiap bagian sistem hantaran rangsang mulai dari nodus SA atrium,
nodus AV, jaras HIS, dan cabang-cabang jaras kanan kiri sampai pada percabangan
purkinye dalam miokard.
3. Gangguan
pembentukan dan konduksi rangsangan
Gangguan irama jantung dapat terjadi sebagai akibat gangguan pembentukan
rangsang bersama gangguan hantaran rangsang.
C. KLASIFIKASI
Terdapat 3 jenis
TSV yang sering ditemukan pada bayi dan anak, yaitu:
1. Takikardi
atrium primer (takikardi atrial ektopik)
Terdapat sekitar 10% dari semua kasus TSV, namun TSV ini sukar diobati.
Takikardi ini jarang menimbulkan gejala akut. Penemuannya biasanya karena
pemeriksaan rutin atau karena ada gagal jantung akibat aritmia yang lama. Pada
takikardi atrium primer, tampak adanya gelombang “p” yang agak berbeda dengan
gelombang p pada waktu irama sinus, tanpa disertai pemanjangan interval PR.
Pada pemeriksaan elektrofisiologi intrakardiak tidak didapatkan jaras abnormal
(jaras tambahan).
2. Atrioventricular
re-entry tachycardia (AVRT)
Pada AVRT pada sindrom Wolf-Parkinson-White (WPW) jenis orthodromic,
konduksi antegrad terjadi pada jaras his-purkinye (slow conduction) sedangkan
konduksi retrograd terjadi pada jaras tambahan (fast conduction). Kelainan yang
tampak pada EKG adalah takikardi dengan kompleks QRS yang sempit dengan
gelombang p yang timbul segera setelah kompleks QRS dan terbalik. Pada jenis
yang antidromic, konduksi antegrad terjadi pada jaras tambahan sedangkan konduksi
retrograd terjadi pada jaras his-purkinye. Kelainan pada EKG yang tampak adalah
takikardi dengan kompleks QRS yang lebar dengan gelombang p yang terbalik dan
timbul pada jarak yang jauh setelah kompleks QRS.
3. Atrioventricular
nodal reentry tachycardia (AVNRT)
Pada jenis AVNRT, reentry terjadi di dalam nodus AV, dan jenis ini
merupakan mekanisme yang paling sering menimbulkan TSV pada bayi dan anak.
Sirkuit tertutup pada jenis ini merupakan sirkuit fungsional. Jika konduksi
antegrad terjadi pada sisi lambat (slow limb) dan konduksi retrograd terjadi
pada sisi cepat (fast limb), jenis ini disebut juga jenis typical (slow-fast)
atau orthodromic. Kelainan pada EKG yang tampak adalah takikardi dengan
kompleks QRS sempit dengan gelombang p yang timbul segera setelah kompleks QRS
tersebut dan terbalik atau kadang-kadang tidak tampak karena gelombang p
tersebut terbenam di dalam kompleks QRS. Jika konduksi antegrad terjadi pada
sisi cepat dan konduksi retrograd terjadi pada sisi lambat, jenis ini disebut
jenis atypical (fast-slow) atau antidromic. Kelainan yang tampak pada EKG
adalah takikardi dengan kompleks QRS sempit dan gelombang p terbalik dan timbul
pada jarak yang cukup jauh setelah komplek QRS.
D. PENYEBAB
1. Idiopatik,
ditemukan pada hampir setengah jumlah pasien. Tipe idiopatik ini biasanya
terjadi lebih sering pada bayi daripada anak.
2. Sindrom
Wolf Parkinson White (WPW) terdapat pada 10-20% kasus dan terjadi hanya setelah
konversi menjadi sinus aritmia. Sindrom WPW adalah suatu sindrom dengan
interval PR yang pendek daninterval QRS yang lebar; yang disebabkan oleh
hubungan langsung antara atrium dan ventrikel melalui jaras tambahan.
3. Beberapa
penyakit jantung bawaan (anomali Ebstein’s, single ventricle, L-TGA)
E. TANDA
DAN GEJALA
1. Perubahan
TD ( hipertensi atau hipotensi ); nadi mungkin tidak teratur; defisit nadi;
bunyi jantung irama tak teratur, bunyi ekstra, denyut menurun; kulit pucat,
sianosis, berkeringat; edema; haluaran urin menurun bila curah jantung menurun
berat.
2. Sinkop,
pusing, berdenyut, sakit kepala, disorientasi, bingung, letargi, perubahan
pupil.
3. Nyeri
dada ringan sampai berat, dapat hilang atau tidak dengan obat antiangina,
gelisah
4. Napas
pendek, batuk, perubahan kecepatan/kedalaman pernafasan; bunyi nafas tambahan
(krekels, ronki, mengi) mungkin ada menunjukkan komplikasi pernafasan seperti
pada gagal jantung kiri (edema paru) atau fenomena tromboembolitik pulmonal;
hemoptisis.
5. Demam;
kemerahan kulit (reaksi obat); inflamasi, eritema, edema (trombosis
siperfisial); kehilangan tonus otot/kekuatan
F. PATOFISIOLOGI
Berdasarkan pemeriksaan elektrofisiologi intrakardiak, terdapat dua
mekanisme terjadinya takikardi supraventrikular yaitu Otomatisasi
(automaticity) dan Reentry. Irama ektopik yang terjadi akibat otomatisasi
sebagai akibat adanya sel yang mengalami percepatan (akselerasi) pada fase 4
dan sel ini dapat terjadi di atrium, A-V junction, bundel HIS, dan ventrikel.
Struktur lain yang dapat menjadi sumber/fokus otomatisasi adalah vena
pulmonalis dan vena kava superior. Contoh takikardi otomatis adalah sinus
takikardi. Ciri peningkatan laju nadi secara perlahan sebelum akhirnya
takiaritmia berhenti. Takiaritmia karena otomatisasi sering berkaitan dengan
gangguan metabolik seperti hipoksia, hipokalemia, hipomagnesemia, dan asidosis.
Ini adalah mekanisme yang terbanyak sebagai penyebab takiaritmia dan paling
mudah dibuktikan pada pemeriksaan elektrofisiologi. Syarat mutlak untuk
timbulnya reentry adalah Adanya dua jalur konduksi yang saling berhubungan baik
pada bagian distal maupun proksimal hingga membentuk suatu rangkaian konduksi
tertutup. Salah satu jalur tersebut harus memiliki blok searah. Aliran listrik
antegrad secara lambat pada jalur konduksi yang tidak mengalami blok
memungkinkan terangsangnya bagian distal jalur konduksi yang mengalami blok searah
untuk kemudian menimbulkan aliran listrik secara retrograd secara cepat pada
jalur konduksi tersebut.
G. PEMERIKSAAN
PENUNJANG
1. EKG
: menunjukkan pola cedera iskemik dan gangguan konduksi. Menyatakan tipe/sumber
disritmia dan efek ketidakseimbangan elektrolit dan obat jantung.
2. Monitor
Holter : Gambaran EKG (24 jam) mungkin diperlukan untuk menentukan dimana
disritmia disebabkan oleh gejala khusus bila pasien aktif (di rumah/kerja).
Juga dapat digunakan untuk mengevaluasi fungsi pacu jantung/efek obat antidisritmia.
3. Foto
dada : Dapat menunjukkanpembesaran bayangan jantung sehubungan dengan disfungsi
ventrikel atau katup.
4. Skan
pencitraan miokardia : dapat menunjukkan aea iskemik/kerusakan miokard yang
dapat mempengaruhi konduksi normal atau mengganggu gerakan dinding dan
kemampuan pompa.
5. Tes
stres latihan : dapat dilakukan untuk mendemonstrasikan latihan yang
menyebabkan disritmia.
6. Elektrolit
: Peningkatan atau penurunan kalium, kalsium dan magnesium dapat mnenyebabkan
disritmia.
7. Pemeriksaan
obat : Dapat menyatakan toksisitas obat jantung, adanya obat jalanan atau
dugaan interaksi obat contoh digitalis, quinidin.
8. Pemeriksaan
tiroid : peningkatan atau penururnan kadar tiroid serum dapat
menyebabkan.meningkatkan disritmia.
9. Laju
sedimentasi : Penignggian dapat menunukkan proses inflamasi akut contoh
endokarditis sebagai faktor pencetus disritmia.
10. GDA/nadi
oksimetri : Hipoksemia dapat menyebabkan/mengeksaserbasi disritmia
H. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan
segera
- Pemberian adenosine
Adenosin merupakan nukleotida endogen yang bersifat
kronotropik negatif, dromotropik, dan inotropik. Efeknya sangat cepat dan
berlangsung sangat singkat dengan konsekuensi pada hemodinamik sangat minimal.
Adenosin dengan cepat dibersihkan dari aliran darah (sekitar 10 detik) dengan cellular
uptake oleh sel endotel dan eritrosit. Obat ini akan menyebabkan blok segera
pada nodus AV sehingga akan memutuskan sirkuit pada mekanisme reentry. Adenosin
mempunyai efek yang minimal terhadap kontraktilitas jantung.
Adenosin merupakan obat pilihan dan sebagai lini
pertama dalam terapi TSV karena dapat menghilangkan hampir semua TSV.
Efektivitasnya dilaporkan pada sekitar 90% kasus. Adenosin diberikan secara
bolus intravena diikuti dengan flush saline, mulai dengan dosis 50 µg/kg dan
dinaikkan 50 µ/kg setiap 1 sampai 2 menit (maksimal 250 µ/kg). Dosis yang
efektif pada anak yaitu 100 – 150 µg/kg. Pada sebagian pasien diberikan
digitalisasi untuk mencegah takikardi berulang.
Efek samping adenosin dapat berupa nyeri dada,
dispnea, facial flushing, dan terjadinya A-V bloks. Bradikardi dapat terjadi
pada pasien dengan disfungsi sinus node, gangguan konduksi A-V, atau setelah
pemberian obat lain yang mempengaruhi A-V node (seperti beta blokers, calsium
channel blocker, amiodaron). Adenosin bisa menyebabkan bronkokonstriksi pada
pasien asma.
- Pada pasien AVRT atau AVNRT, prokainamid mungkin juga efektif. Obat ini bekerja memblok konduksi pada jaras tambahan atau pada konduksi retrograd pada jalur cepat pada sirkuit reentry di nodus AV. Hipotensi juga sering dilaporkan pada saat loading dose diberikan.
- Digoksin dilaporkan juga efektif untuk mengobati kebanyakan TSV pada anak. Digoksin tidak digunakan lagi untuk penghentian segera TSV dan sebaiknya dihindari pada anak yang lebih besar dengan WPW sindrom karena ada risiko percepatan konduksi pada jaras tambahan. Digitalisasi dipakai pada bayi tanpa gagal jantung kongestif. Penelitian oleh Wren dkk tahun 1990, pada 29 bayi dengan TSV, pengobatan efektif dengan digoksin. Digoksin memperbaiki fungsi ventrikel, baik melalui pengaruh inotropiknya maupun melalui blokade nodus AV yang ditengahi vagus.
- Bila adenosin tidak bisa digunakan serta adanya tanda gagal jantung kongestif atau kegagalan sirkulasi jelas dan alat DC shock tersedia, dianjurkan penggunaan direct current synchronized cardioversion dengan kekuatan listrik sebesar 0,25 watt-detik/pon yang pada umumnya cukup efektif. DC shock yang diberikan perlu sinkron dengan puncak gelombang QRS, karena rangsangan pada puncak gelombang T dapat memicu terjadinya fibrilasi ventrikel. Tidak dianjurkan memberikan digitalis sebelum dilakukan DC Shock oleh karena akan menambah kemungkinan terjadinya fibrilasi ventrikel. Apabila terjadinya fibrilasi ventrikel maka dilakukan DC shock kedua yang tidak sinkron. Apabila DC shock kedua ini tetap tidak berhasil, maka diperlukan tindakan invasif.
- Bila DC shock tidak tersedia baru dipilih alternatif kedua yaitu preparat digitalis secara intravena. Dosis yang dianjurkan pada pemberian pertama adalah sebesar ½ dari dosis digitalisasi (loading dose) dilanjutkan dengan ¼ dosis digitalisasi, 2 kali berturut-turut berselang 8 jam.
- Bila pasien tidak mengalami gagal jantung kongestif, adenosin tidak bisa digunakan, dan digitalis tidak efektif, infus intravena phenylephrine bisa dicoba untuk konversi cepat ke irama sinus. Phenylephrine dapat meningkatkan tekanan darah dengan cepat dan mengubah takikardi dengan meningkatkan refleks vagal. Efek phynilephrin (Neo-synephrine) sama halnya dengan sedrophonium (tensilon) yang meningkatkan reflek vagal seperti juga efek anti aritmia lain seperti procainamid dan propanolol. Metode ini tidak direkomendasikan pada bayi dengan CHF karena dapat meningkatkan afterload sehingga merugikan pada bayi dengan gagal jantung. Dosis phenylephrin 10 mg ditambahkan ke dalam 200 mg cairan intravena diberikan secara drip dengan pengawasan doketr terhadap tekanan darah. Tekanan sistolik tidak boleh melebihi 150-170 mmHg.
2. Penanganan
Jangka Panjang
Umur pasien dengan TSV digunakan sebagai penentu
terapi jangka panjang TSV. Di antara bayi-bayi yang menunjukkan tanda dan
gejala TSV, kurang lebih sepertiganya akan membaik sendiri dan paling tidak
setengah dari jumlah pasien dengan takikardi atrial automatic akan mengalami
resolusi sendiri. Berat ringan gejala takikardi berlangsung dan kekerapan
serangan merupakan pertimbangan penting untuk pengobatan.
Pada sebagian besar pasien tidak diperlukan terapi
jangka panjang karena umumnya tanda yang menonjol adalah takikardi dengan
dengan gejala klinis ringan dan serangan yang jarang dan tidak dikaitkan dengan
preeksitasi. Bayi-bayi dengan serangan yang sering dan simptomatik akan
membutuhkan obat-obatan seperti propanolol, sotalol atau amiodaron, terutama
untuk tahun pertama kehidupan.
Pada pasien TSV dengan sindrom WPW sebaiknya
diberikan terapi propanolol jangka panjang. Sedangkan pada pasien dengan
takikardi resisten digunakan procainamid, quinidin, flecainide, propafenone,
sotalol dan amiodarone.
I. DIAGNOSIS
Diagnosis TSV
berdasarkan pada gejala dan tanda sebagai berikut:
a. Pada
bentuk akut: pucat, gelisah, takipneu dan sukar minum
b. Denyut
jantung; 180-300 kali/menit (mungkin sulit dihitung)
c. Dapat
terjadi gagal jantung (bila dalam 24 jam tidak membaik)
d. EKG:
e. Pemeriksaan
esophageal electrophysiology dapat
digunakan sebagai prediktor apakah bayi membutuhkan obat anti aritmia
J.
WOC

KONSEP ASKEP
A. PENGKAJIAN
1. Pengkajian
primer :
- Airway
-
Apakah ada peningkatan sekret ?
-
Adakah suara nafas : krekels ?
- Breathing
-
Adakah distress pernafasan ?
-
Adakah hipoksemia berat ?
-
Adakah retraksi otot interkosta, dispnea, sesak
nafas ?
-
Apakah ada bunyi whezing ?
- Circulation
-
Bagaimanakan perubahan tingkat kesadaran ?
-
Apakah ada takikardi ?
-
Apakah ada takipnoe ?
-
Apakah haluaran urin menurun ?
-
Apakah terjadi penurunan TD ?
-
Bagaimana kapilery refill ?
-
Apakah ada sianosis ?
2. Pengkajian
sekunder
- Riwayat penyakit
a) Faktor
resiko keluarga contoh penyakit jantung, stroke, hipertensi
b) Riwayat
IM sebelumnya (disritmia), kardiomiopati, GJK, penyakit katup jantung,
hipertensi
c) Penggunaan
obat digitalis, quinidin dan obat anti aritmia lainnya kemungkinan untuk
terjadinya intoksikasi
- Kondisi psikososial
1) Pengkajian
fisik
a)
Aktivitas : kelelahan umum
b)
Sirkulasi : perubahan TD ( hipertensi atau
hipotensi ); nadi mungkin tidak teratur; defisit nadi; bunyi jantung irama tak
teratur, bunyi ekstra, denyut menurun; kulit warna dan kelembaban berubah misal
pucat, sianosis, berkeringat; edema; haluaran urin menruun bila curah jantung
menurun berat.
c)
Integritas ego : perasaan gugup, perasaan
terancam, cemas, takut, menolak,marah, gelisah, menangis.
d) Makanan/cairan
: hilang nafsu makan, anoreksia, tidak toleran terhadap makanan, mual muntah,
peryubahan berat badan, perubahan kelembaban kulit
e)
Neurosensori : pusing, berdenyut, sakit kepala,
disorientasi, bingung, letargi, perubahan pupil.
f)
Nyeri/ketidaknyamanan : nyeri dada ringan sampai
berat, dapat hilang atau tidak dengan obat antiangina, gelisah
g)
Pernafasan : penyakit paru kronis, nafas pendek,
batuk, perubahan kecepatan/kedalaman pernafasan; bunyi nafas tambahan (krekels,
ronki, mengi) mungkin ada menunjukkan komplikasi pernafasan seperti pada gagal
jantung kiri (edema paru) atau fenomena tromboembolitik pulmonal; hemoptisis.
h)
Keamanan : demam; kemerahan kulit (reaksi obat);
inflamasi, eritema, edema (trombosis siperfisial); kehilangan tonus
otot/kekuatan
B. DIAGNOSA
KEPERAWATAN
- Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan denyut/irama jantung, perubahan sekuncup jantung: preload, afterload, penurunan kontraktilitas miokard
- Perfusi jaringan serebral/perifer tidak efektik berhubungan dengan aliran arteri terhambat
- Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakkeimbangan suplai dan kebutuhan oksigen.
- Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologis, fisik.
- Kurang pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan paparan, tidak familiar dengan sumber informasi.
- Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi, nyeri, cemas, kelelahan otot pernapasan, defornitas dinding dada.
C. INTERVENSI
TAKIKARDI SUPRAVENTRIKULAR
1. Penurunan
curah jantung berhubungan dengan perubahan denyut/irama jantung, perubahan
sekuncup jantung: preload, afterload, penurunan kontraktilitas miokard.
Tujuan: Penuruanan curah jantung teratasi setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 1x24jam dengan kriteria hasil:
-
Pasien tidak mengeluh pusing
-
Pasien tidak mengeluh sesak
-
EKG normal
-
Kulit elastis BB normal
-
Suhu: 36-37C/axila
-
Pernapasan 12-21x/mnt
-
Tekanan darah 120-129/80-84mmHg
-
Nadi 60-100x/mnt
Intervensi:
- Ukur tanda-tanda vital: Tekanan darah, pernapasan, suhu, nadi.
R/mengetahui keadaan pasien
- Monitor bunyi napas, bunyi jantung
R/mengetahui perubaha napas /bunyi jantung
- Monitor edema
R/mengetahui keadaan pasien
- Batasi garam sesuai program
R/menghindari penimbunan cairan
- Anjurkan untuk bed rest
R/mempercepat pemulihan kondisi
- Beri posisi semi fowler
R/memenuhi kebutuhan oksigen
- Kolaborasi/lanjutkan program EKG
R/mengetahui kelainan jantung
- Kolaborasi/lanjutkan terapi oksigen
R/mencukupi kebutuhan oksigen
- Kolaborasi/lanjutkan terapi obat
R/mempercepat proses penyembuhan
2. Perfusi
jaringan serebral/perifer tidak efektik berhubungan dengan aliran arteri
terhambat.
Tujuan: Perpusi jaringan serebral teratasi setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 1x24jam dengan kriteria hasil:
- Pasien
tidak mengeluh pusing
- Pasien
tidak mengeluh sesak napas
- Pernapasan
12-21x/mnt
- Tekanan
darah 120-129/80-84mmHg
- Nadi
60-100x/mnt
- CRT:
<3 detik
Intervensi:
a. Ukur
tanda-tanda vital: tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu, saturasi
R/mengetahui kondisi pasien
b. Monitor
capillary refill time
R/mengetahui status keadaan pasien
c. Monitor
kemampuan aktivitas pasien
R/mengetahui kemampuan pasien
d. Anjurkan
untuk cukup istirahat
R/mempercepat pemulihan kondisi
e. Beri
posisi semi fowler
R/memenuhi kebutuhan oksigen
f. Bantu
aktivitas pasien secara bertahap
R/mengurangi beban kerja pasien
g. Cegah
fleksi tungkai
R/menghindari penurunan staus kesadaran pasien
h. Libatkan
keluarga dalam pemenuhan kebutuhan pasien
R/mencukupi kebutuhan pasien
i.
Beri cukup nutrisi sesuai dengan diet
R/mempercepat pemulihan kondisi
j.
Kolaborasi/lanjutkan terapi oksigen
R/mencukupi kebutuhan oksigen
k. Kolaborasi/lanjutkan
terapi transfusi
R/mempercepat pemulihan kondisi pasien
l.
Kolaborasi/lanjutkan pemberian obat; nama,
dosis, waktu, cara, indikasi R/mempercepat proses penyembuhan
3. Intoleransi
aktivitas berhubungan dengan ketidakkeimbangan suplai dan kebutuhan oksigen.
Tujuan: Intoleransi aktivitas teratasi setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 1x24jam dengan kriteria hasil:
-
Pasien tidak mengeluh lemas
-
Pasien tidak mengeluh pusing
-
Pasien tidak mengeluh sesak napas
-
Pernapasan 12-21x/mnt
-
Tekanan darah 120-129/80-84mmHg
-
Nadi 60-100x/mnt
-
CRT: <3 detik
Intervensi:
a. Ukur
tanda-tanda vital: Tekanan darah, pernapasan, suhu, nadi.
R/mengetahui keadaan pasien
b. Monitor
kemampuan aktivitas pasien
R/mengetahui kemampuan pasien
c. Anjurkan
untuk cukup istirahat
R/mempercepat pemulihan kondisi
d. Beri
posisi semi fowler
R/memenuhi kebutuhan oksigen
e. Libatkan
keluarga dalam pemenuhan kebutuhan pasien
R/mencukupi kebutuhan pasien
f. Bantu
aktivitas pasien secara bertahap
R/mengurangi bebar kerja pasien
g. Beri
cukup nutrisi sesuai dengan diet
R/mempercepat pemulihan kondisi
h. Kolaborasi/lanjutkan
terapi oksigen
R/mencukupi kebutuhan oksigen
i.
Kolaborasi/lanjutkan pemberian obat; nama,
dosis, waktu, cara, rute
R/mempercepat penyembuhan
4. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri
biologis, fisik.
Tujuan: Nyeri akut teratasi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
1x24jam dengan kriteria hasil:
-
Pasien tidak mengeluh nyeri
-
Pasein tidak mengeluh sesak
-
Pernapasan 12-21x/mnt
-
Tekanan darah 120-129/80-84mmHg
-
Nadi 60-100x/mnt
Intervensi:
a. Ukur
tanda-tanda vital: tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu, saturasi
R/mengetahui kondisi pasien
b. Monitor
derajat dan kualitas nyeri (PQRST)
R/mengetahui rasa nyeri yang dirasakan
c. Ajarkan
teknik distraksi/relaksasi/napas dalam
R/mengurangi rasa nyeri
d. Beri
posisi nyaman
R/untuk mengurangi rasa nyeri
e. Beri
posisi semifowler
R/memenuhi kebutuhan oksigen
f. Libatkan
keluarga dalam pemenuhan kebutuhan pasien
R/memenuhi kebutuhan pasien
g. Anjurkan
untuk cukup istirahat
R/mempercepat proses penyembuhan
h. Kolaborasi/lanjutkan
pemberian analgetik; nama, dosis, waktu, cara, indikasi
R/mengurangi rasa nyeri
5. Kurang
pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan paparan, tidak familiar dengan
sumber informasi.
Tujuan: Pengetahuan pasien bertambah setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 1x45 menit dengan kriteria hasil:
-
Pasien bisa menjelaskan pengertian
-
Bisa menyebutkan penyebab
-
Bisa menyebutkan tanda dan gejala
-
Bisa menyebutkan perawatan
-
Bisa menyebutkan pencegahan
Intervensi:
- Kontrak waktu, tempat, dan topik dengan pasien
R/menetapkan waktu, tempat, dan topik untuk pendidikan kesehatan
- Berikan pendidikan kesehatan
R/meningkatkan pengetahuan pasien
- Evaluasi pengetahuan pasien
R/mengetahui keberhasilan pendidikan kesehatan
- Anjurkan kepada klien untuk melakukan apa yang telah disampaikan dalam pendidikan kesehatan
R/mengingatkan kembali pada pasien
6. Pola
napas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi, nyeri, cemas, kelelahan
otot pernapasan, defornitas dinding dada.
Tujuan: pola napas tidak efektif teratasi setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 1x24jam dengan kriteria hasil:
-
Pasien tidak mengeluh pusing
-
Pasien tidak mengeluh sesak napas
-
Pernapasan 12-21x/mnt
-
Tekanan darah 120-129/80-84mmHg
-
Nadi 60-100x/mnt
-
CRT: <3 detik
Intervensi:
a. Ukur
tanda-tanda vital: Tekanan darah, pernapasan, suhu, nadi.
R/mengetahui keadaan pasien
b. Monitor
kemampuan aktivitas pasien
R/mengetahui kemampuan pasien
c. Anjurkan
untuk bedrest
R/mempercepat pemulihan kondisi
d. Beri
posisi semifowler
R/mencukupi kebutuhan oksigen
e. Bantu
aktivitas pasien secara bertahap
R/mengurangi beban kerja pasien
f. Beri
cukup nutrisi sesuai dengan diet
R/mempercepat pemulihan kondisi
g. Kolaborasi/lanjutkan
terapi oksigen
R/mencukupi kebutuhan oksigen
DAFTAR PUSTAKA
Hudak, C.M, Gallo B.M.
Keperawatan Kritis : Pendekatan Holistik. Jakarta : EGC.1997
Price, Sylvia Anderson. Patofisiologi : konsep klinis proses-proses
penyakit. Alih bahasa Peter Anugrah. Editor Caroline Wijaya. Ed. 4. Jakarta :
EGC ; 1994.
Santoso Karo karo. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI ; 1996
Smeltzer Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Alih bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8.
Jakarta : EGC; 2001.
Doenges, Marilynn E. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk
Perencanaan dan pendokumentasian Perawatan Pasien. Alih bahasa I Made Kariasa.
Ed. 3. Jakarta : EGC;1999
Hanafi B. Trisnohadi. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Ed. 3.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2001
No comments:
Post a Comment